MAKNA TAKWA DAN IMPLEMENTASINYA
بسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِىْ تَفَرَّدَ بِجَلالِ مَلَكُوْتِهِ، وَتَوَحَّدَ بِجَمَاْلِ جَبَرُوْتِهِ، وَتَعَزَّزَ بِعُلُوِّ أَحَدِيَّتِهِ، وَتَقَدَّسَ بِسُمُوِّ صَمَدِيَّتِهِ، وَتَكَبِّرَفِى ذَاْتِهِ عَنْ مُضَاْرَعَةِ كُلِّ نَظِيْرٍ، وَتَنَـزَّهَ فِىْ صِفَاتِهِ عَنْ كُلِّ تَنَاْهٍ وَتَصْوِيْرٍ أَحْمَدُهُ عَلَى مَا يُوْلِى وَيَصْنَعُ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى مَايَزْوِى وَيَدْفَعُ، وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَأَقْنَعُ، وَأَرْضَى بِمَايُعْطِى وَيَمْنَعُ
وَأَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلاّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةَ مُوْقِنٍ بِتَوْحِيْدِهِ مُسْتَجِيْرٍ بِحُسْنِ تَأْيِيْدِهِ
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ اَلْمُصْطَفَى وَأَمِيْنُهُ الْمُجْتَبَى وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثِ إِلَى كَافَّةِ الْوَرَى. اللهُم صَلِّ عَلَي خاتم النبي والرسول محمدٍ وَعَلَى آلِهِ مَصَابِيْحِ الدُّجَى. وَأَصْحَاْبِهِ مَفَاتِيْحِ الْهُدَى وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِـيْرًا
أَمَّابَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ، اِتّقُوا اللهَ وَتَعَالَى وَأَطِيْعُوْهُ وَاعْلَمُوْا أَنَّهُ لا نَجَاةَ إِلاّ بِتَقْوَاهُ وَلافَوْزَ ِإلاّ بِطَاعَتِهِ
Ma’asyiral Musliminn, rahimakumullah...
Pesan untuk bertakwa kepada Allah senantiasa kita dengar sedikitnya setiap kali khotbah Juma’at disampaikan. Bahkan ajakan untuk bertakwa merupakan salah satu rukun khotbah, sehingga tanpanya sebuah khotbah tidak bisa disahkan. Namun demikian, apa sebenarnya takwa itu dan bagaimana harus diterapkan?
Secara bahasa kata taqwa merupakan bentuk mashdar dari kata ittaqa-yattaqi, yang berarti ‘berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu’. Sedang dari segi syara’ takwa adalah ‘menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah SWT dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya”
Dalam hal ini Al Imam Al Qusyairi –Rahimahullah- dalam risalahnya menyampaikan pendapat beberapa ulama sufi tentang makna takwa dan contoh-contoh penerapannya.
Ketinggian derajat seseorang di sisi Allah diukur dengan tingkat ketakwaannya dan bukan karena jabatan di dunia atau sedikit banyak hartanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang tertuang dalam surat Al Hujarat ayat 13,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاْكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kalian”
Sahabat Abu Sa’id al-Khudri menceritakan, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW seraya meminta nasihat, ‘Wahai Nabi Allah, nasehatilah diriku’. Beliau menjawab:
عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ فَإِ نَّه جِمَاعُ كُلِّ خَيْرٍ
“Berpegang teguhlah kamu pada ketaqwaan kepada Allah, karena sesungguhnya Taqwa kepada Allah adalah kunci segala kebaikan”.
Dan bahkan ketika suatu saat Nabi ditanya tentang siapa keluarga Muhammad, beliau menjawab :
كُلُّ تَقِيٍّ
“Semua orang yang bertaqwa adalah keluargaku”.
Sungguh tinggi derajat taqwa itu. Namun dimana posisi kita di antara mereka orang-orang yang bertaqwa? Atau mungkin kita masih di luar kelompok muttaqin sebab kita masih belum berusaha meraihnya? Atau mungkin seruan bertakwa itu sekedar melewati telinga dari kiri tembus ke kanan tanpa bersemanyam di dada? Mungkin kita terlalu disibukkan diri dengan urusan dunia sehingga taqwa dan ketaqwaan-pun hanyalah slogan yang terhafalkan oleh lesan yang kadang terbungkus oleh formalitas ritual-ritual keagamaan belaka.
Hadirin sidang Jum’ah yang dirahmati Allah
Masih dalam Risalah Qusyairiyah, Imam Abu Ali Al Daqqaq dalam menafsiri firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya”. (Ali Imran : 102)
Beliau mengatakan:
أَنْ يُطَاْعَ فَلا يُعْصَى وَيُذْكَرَ فَلا يُنْسَى وَيُشْكَرَفَلا يُكْفَرَ.
Maksud taqwa kepada Allah adalah :“(Allah) ditaati tanpa pembangkangan, diingat tanpa dilupakan dan disyukuri tanpa diingkari (nikmatNya)”.
Maka jika seseorang telah mampu menerapkan konsep ini maka ia akan memiliki ciri-ciri seorang Muttaqi, yang antara lain adalah:
حُسْنُ التَّوَكُّلِ فِيْمَا لَمْ يَنَلْ ، وَحُسْنُ الرِّضَا فِيْمَا قَدْ نَاْلَ ، وَحُسْنُ الصَّبْرِ عَلَى مَا قَدْ مَضَى
“Kesempurnaan berserah diri pada apa yang masih diharapkan. Kesempurnaan kerelaan pada apa yang telah ia dapatkan. Dan kesempurnaan kesabaran pada apa yang telah terlewatkan.”
Ma’asyiral Musliminn, rahimakumullah...
Selanjutnya jika seseorang telah benar menghiasi dirinya dengan ketakwaan, maka seseorang akan senantiasa merasakan kehadiran Allah pada setiap masa dan di manapun ia berada. Bukan saja ketika berada di masjid atau mushalla, tapi juga di sawah, di pasar, atau di tempat ia bekerja. Saat gembira atau duka, benci atau cinta, ketika berbicara atau berbisik tanpa suara, ketika bergerak atau diam, ketika berdiri, duduk atau berbaring, dalam keramaian atau sendirian, saat damai dan tenteram, pula saat-saat kritis dan bahaya yang mencekam.
Dan apabila takwa telah bersemanyam di dada, maka akan lahir pribadi yang utuh, menyatu jiwa dengan raganya, menyatu bisikan hati dengan ucapannya, menyatu kata dan perbuatannya, juga menyatu langkah dan tujuannya. Ia akan menemukannya teguh dalam keyakinan, teguh tapi bijaksana, senantiasa bersih dan menarik walau miskin, selalu hemat dan sederhana walau kaya, murah hati dan murah tangan, tidak menghina dan tidak mengejek, tidak menghabiskan waktu tiada guna, tidak menuntut yang bukan haknya, dan tidak menahan hak dari orang yang memilikinya.
Ucapannya melipur lara dan membawa manfaat, diamnya pertanda tafakkur, dan pandangannya alamat i’tibar. Bila beruntung ia bersyukur, bila diuji ia bersabar, bila bersalah ia istighfar, kalau ditegur ia menyesal, dan kalau dimaki ia menjawab seraya berucap : “Bila makian anda benar, maka semoga Allah mengampuniku dan bila keliru, maka kumohon Tuhan mengampunimu”.
Demikian menyatu seluruh tuntunan kebaikan dalam dirinya, lahir dan batin. Sehingga, pada akhirnya “ tatkala diam ia dengan Allah, tatkala berbicara ia demi Allah, tatkala bergerak ia atas perintah Allah, tatkala terlena ia bersama Allah. Sungguh, ia selalu, dengan, demi dan bersama Allah.”
Jika seseorang telah benar bertakwa, maka kemanapun langkah diayunkan dan ke manapun angin membawa biduk, betapapun besar ombak dan gelombang, kendati pantai hanya samar-samar terpandang, namun semua itu bukan masalah besar sebab takwa telah bersemai di dalam hati sanubarinya.
Baginya, Allah adalah pangkalan tempat ia bertolak serta pelabuhan tempat ia bersauh. Itulah makna pesan dari firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; Janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Demikian khotbah Jumat siang ini, semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya dan memasukkan kita bersama orang-orang yang diridhoi-Nya. Amin ya Robbal Alamin.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.