KH. ABDUSSALAM ; KIAI SUFI PENDIRI MATHALIUL FALAH
K.H Abdussalam yang akrab dipanggil Mbah Salam dilahirkan dan wafat di desa Kajen Margoyoso Pati. Kapan tanggal, bulan dan tahun lahir serta wafatnya, belum diketahui secara pasti. Dari garis keturunan (nasab), Mbah Salam adalah putra dari KH. Abdullah bin Ismaiil dan nasabnya sampai pada KH. Ahmad Mutamakkin seorang wali terkenal di desa Kajen. Adapun silsilahnya adalah KH. Abdussalam bin KH. Abdullah bin Nyai Mutiroh binti KH. Bunyamin bin Nyai Toyyibah binti K. Muhammad Hedro Kusumo bin KH. Ahmad Mutamakkin.
Mbah Salam adalah Muassis atau pendiri Perguruan Islam Mathaliul Falah yang pada saat itu bernama sekolah Arab, tepatnya pada tahun 1912 disaat Belanda menjajah negara Indonesia. Ide dan gagasan Mbah Salam ini merupakan usaha beliau melalui jalan formal untuk meneruskan perjuangan ayah dan kakek moyangnya, yaitu KH. Ahmad Mutammakkin, merupakan orang pertama kali yang membuka (babat) desa Kajen sehingga menjadi padat penduduknya, ramai dan maju agamanya seperti saat ini. Selain itu, Mbah Salam juga muassis cikal-bakal (embrio) berdirinya pondok-pondok pesantren yang berada di komplek Polgarut melalui putra-putra dan cucu-cucunya.
Usaha Mbah Salam untuk menyebarkan dan mendahwahkan ajaran islam di desa Kajen bisa dikatakan berhasil. Hal itu dapat dilihat, banyak murid atau santri beliau yang saat ini telah mendirikan pondok pesantren dalam rangka ikut berpartisipasi mencerdaskan agama orang Kajen dan masyarakat di luar Kajen dari berbagai penjuru daerah di Indonesia, Jawa, Sumatra, maupun Kalimantan, mereka berbondong-bondong menuju Kajen untuk mencari ilmu agama. Diantara murid Mbah Salam yang berhasil, misalnya KH. Mahfudh pendiri Pondok Pesantren Maslakul Huda, KH. Abdullah Zen Salam pendiri PP. Mathaliul Huda, dan PP. Al-husna, KH. Ali Mukhtar Pendiri PP. Masyithah, yang mana ketiga-tiganya adalah putra-putra Mbah Salam sendiri. Kemudian KH. Ali Mukhtar Pendiri PP. Bulu Dana, KH. Hasbullah pendiri PP. Kauman, dan pada periode selanjutnya santri-santri Mbah Salam tersebut pun melahirkan banyak Ulama-ulama besar juga, misalnya KH. Muhammadun pendiri PP. APIK, KH. Fayumi Munji pendiri PP. PRU, KH. Kasir pendiri PP. PMU, dan masih banyak lagi lainnnya.
Kiai Sufi dan Hafal Al-Quran
Kedalam ilmu agama Mbah Salam tidak dapat diragukan lagi, sebagaimana terlihat pada kealiman santri-santri beliau. Guru yang besar dan alim pasti melahirkan murid yang besar dan alim pula. Selain alim dalam bidang ilmu agama, Mbah Salam juga seorang Kiai yang hafal al-Quran, yang pada hari kemudian keistimewaan tersebut diwarisi oleh putra-putra dan cucu-cucunya. Mbah Salam menghafal al-Quran dan menjadi hafidh ketika usia beliau sudah tua, tidak sebagaimana lazimnya orang mengahafalkan, dimana pada umumnya mengahafal al-Quran di waktu muda. Ada cerita unik yang mendorong Mbah Salam untuk menghafal al-Quran, yaitu suatu hari Mbah Salam berenung, bahwa di desa Kajen belum ada seorang guru yang alim sekaligus hafal Al-quran, akhirnya beliau berinisiatif mendatangkan K. Hasbullah dari Sedan Rembang untuk mengajar Al-quran kepada santri-santrinya di pondok beliau Polgarut. K. Hasbullah pun memenuhi permintaan Mbah Salam untuk mengajar al-Quran di Kajen. Namun selang beberapa waktu, Mbah Salam gelisah dengan metode yang digunakan K. Hasbullah yang bisa dikatakan keras. Dalam mengajar al-Quran, apabila K. Hasbullah mendapati santri yang sulit dalam membaca al-Quran, beliau meludahi mulut santri tersebut. Berawal dari kejadian inilah, akhirnya Mbah Salam berniat menghafalkan al-Quran, dan dikemudian harinya beliau mengajarkan al-Quran kepada santri-santrinya sendiri.
Selain itu ada cerita unik lain, Istri K. Nawawi bin Abdullah bin Ismail menjuluki Mbah Salam dengan nama “Sarno”, yang artinya angger pasaran ono (setiap hari rabu dan sabtu pasti ada di pasar). Setiap hari rabu dan sabtu, Mbah Salam pasti selalu datang ke pasar, kebiasaan itu beliau lakukan untuk menghafal dan mudarasah Al-quran. Tempat yang beliau pilih dan gunakan adalah dekat tempat penjualan ikan-ikan yang ramai pengunjungnya dan pembelinya. Menurut Mbah Salam, hal itu beliau lakukan agar hafalanya benar-benar lancar, karena apabila beliau sudah dapat menghafal dan melancarkan Al-quran di tempat yang ramai berarti hafalannya telah sukses dan berhasil. Setelah selesai menghafal Al-quran, beliau tidak langsung pulang, tapi mampir di toko untuk membeli perpen (mut mutan) terlebih dahulu, dan membagikannya sambil berjalan kepada anak-anak kecil dijalan sampai rumah.
Selain alim dalam bidang ilmu agama dan hafal al-Quran, Mbah Salam adalah sosok Kiai Sufi. Menurut penuturan cucunya, yaitu KH. Nafi Abdillah, Mbah Salam memiliki ajaran sufi yang perlu dicontoh, yakni pekerjaan mubah diniati menjadi pekerjaan wajib, jika tidak bisa, maka diniati pekerjaan sunnah. Beberapa cerita yang membuktikan hal itu diantaranya adalah, setiap pagi selesai mengajar santri-santrinya sekitar pukul 07.30 WIB, Mbah Salam nyisii klobot jagung yang beliau gunakan untuk merokok, pucuk dan bongkotnya dipotongi dan dikumpulkan. Sedangkan ketika kotoran sisanya (larahan) hendak dibuang santrinya, tapi beliau melarangnya. Mbah Salam menyuruh santrinya untuk menaruh larahan tersebut di dapur agar digunakan dedek geni (digunakan untuk memasak).. Mbah Salam berkata, “ bahwa itu merupakan kewajiban saya untuk memenuhi nafakah keluarga saya”.
Ada cerita lain, bahwa suatu hari tepatnya setelah subuh Mbah Salam meliburkan pengajian al-Quran santrinya yang kecil-kecil. Dengan mengenakan celana klombor, beliau memotongi (nyelerei) blarak kelapa. Pada sekitar pukul 07.30 WIB., ada santrinya yang terlambat, yaitu K. Ali Mayong yang akhirnya menjadi menantu beliau. Mbah Salam kemudian bertanya kepada santrinya tersebut, “ memotongi (nyelerei) blarak dengan mengaji lebih baik mana? ... santrinya tidak bisa menjawab, kemudian Mbah Salam menjawabnya sendiri: Ya... apik nyelereti blarak to... iku kewajibanku, mau aku delok neng pawon, tapi ora ono opo-opo...”.
Suatu ketika K. Hasyim Asyari berkunjung ke rumah Mbah Salam dengan diantar K. Thohir Nawawi. Ketika K. Hasyim sampai dirumahnya, bertepatan saat beliau sedang mengajar al-Quran anak-anak kecil di rumahnya. Dan ketika K. Hasyim pamitan keluar, beliau menangis sampai ke rumah K. Thohir Nawawi. Sesampainya K. Hasyim tiba di rumahnya K. Thohir, K. Thohir bertanya kepada K. Hasyim: “Kenapa jenengan menangis yi?... K. Hasyim pun menjawab pertanyaan K. Thohir dengan wajah yang sedih: aku wes suwi pengen koyo Mbah Salam, tapi ora-iso-iso”.
Selain itu, menurut KH. Nafi Abdillah, Mbah Salam juga memiliki karangan kitab “Jurumiyah berbahasa jawa”, hanya saja kitab tersebut tidak terlacak wujudnya, sehingga tidak bisa diketahui santri-santrinya saat ini. Hal ini menunjukkan jiwa kepenulisan telah dimiliki oleh Mbah Salam, sehingga pada kemudian harinya, jiwa kepenulisan ini pun menular dan diwarisi oleh putranya, K. Mahfudh Salam yang memiliki beberapa karangan Kitab berbahasa Arab, dan cucunya, yaitu KH. MA. Sahal Mahfudh yang terkenal produktifitasnya dalam menulis, baik karya berbahasa Arab, maupun berbahasa Indonesia.
Inilah sekelumit cerita sosok K. Abdussalam yang mengesankan dan mengindikasikan kedalaman ilmu agama dan kesufian beliau, sehingga di kemudian hari beliau melahirkan keturunan dan santri-santri yang alim-alim yang menyebar diberbagai pelosok daerah seantero indonesia guna mengajarkan ajaran agama islam kepada masyarakat melalui Perguruan Islam Mathaliul Falah.